Senin, 09 Agustus 2021

Essay : Bukan Soal Tubuh, tetapi Ruh

 

Bukan Soal Tubuh, tetapi Ruh.

 “Selama berabad-abad peradaban manusia telah membuat gambaran tentang perempuan dengan cara pandang ambigu dan paradoks. Perempuan dipuja sekaligus direndahkan. Ia dianggap sebagai tubuh yang indah bagai bunga ketika ia mekar, tetapi kemudian  dicampakkan begitu saja begitu ia layu. Tubuh perempuan identik dengan daya pesona dan kesenangan seksual. Tetapi dalam waktu yang sama ia dieksploitasi demi hasrat diri dan keuntungan materi…” ( KH.Husein Muhammad)

            Perempuan adalah manusia sama halnya laki-laki. Islam mendefinisikan perempuan sebagai makhluk Allah yang memiliki banyak keistimewaan. Sebagai seorang anak perempuan merupakan emas permata bagi kedua-orang tuanya, sebagai seorang isteri ia adalah sebaik-baik dari perhiasan dunia dan sebagai seorang ibu ia adalah surga bagi anaknya. Perempuan sebagaimana makhluk Allah dicipatakan sama halnya seorang laki-laki yang dilengkapi akal untuk berpikir, naluri yang memiliki rasa dan tubuh yang juga bisa bergerak dalam ruang dan waktu.

            Dalam Masyarakat Arab tubuh perempuan harus dilindungi dan ditutup rapat-rapat, sehingga banyak ditemui hanya terlihat dua buah bola mata. Tubuhnya terlarang menantang laki-laki karena konon dalam diri perempuan menyimpan sesuatu yang amat berharga. Sehingga tubuhnya begitu ketat dalam tata tertib kehidupan. Ruang geraknya sempit, karena kemanapun seorang perempuan keluar, maka semua akan terkontrol dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dalam konteks tradisi keagamaan, seluruh perbincangan tentang tubuh perempuan merujuk pada dua kata sakti, yakni Qiwamah AL-Rajul (kepemimpinan laki-laki) dan al-fitnah.[1]

            Qiwamah AL-Rajul (kepemimpinan laki-laki) kata ini disebut dalam teks suci yang paling otoritaif (paling abash) bahwasanya dengan adanya kata ini relasi gender dibangun di segala ruang dan waktu. Kata kedua al-fitnah dalam konteks gender sering kali dimkanai sebagai kata yang menyudutkan perempuan sebagai sumber fitnah, sumber godaan hasrat, pemicu kerusakan/kekacauan sosial, dan semua hal yang menjerumuskan laki-laki ke jurang nestapa. 

            Pandangan bahwa perempuan sumber petaka dan kesialan bagi laki-laki sesungguhnya tidak hanya diperbincangkan oleh kalangan masyarakat Islam. Dalam dunia Eropa penganut agama Kristen juga memperbincangkan hal yang demikian, bahwa perempuan juga dianggap sebagai makhluk yang hanya pemuas hasrat dan selalu dianggap memiliki tingkah moral yang kurang. Sehingga laki-laki harus mengawasi setiap tingkah laku perempuan, dan perempuan diciptakan untuk taat terhadap laki-laki. St. Agustinus (354-430) bapak spiritualitas dunia Barat, memgingatkan jamaahnya bahwa “melalui seorang perempuan dosa pertama datang, dosa yang membawa kematian bagi kita semua”. [2]

            Pandangan-pandangan paradoks kemudian meningkat, ambigu sekaligus penuh nuansa merendahkan, menguasai dan memberikan penindasan bagi kaum perempuan. Bahwa apa yang dilihat dari Bunga yang mekar ini hanya hasrat dari tubuh, seks dan bilogisnya saja. Sehingga pandangan ini disebut sebagai pandangan patriarkisme.[3] Patriarkisme yakni paham yang menempatkan bahwa laki-laki pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran politik, sosial, budaya dan ekonomi. Faktanya keadaan tersebut hanya akan terus menjadi beban bagi pergerakan perempuan. Namun kenyataanya, setelah kita rasakan secara perlahan asumsi-asumsi yang mengatakan perempuan selalu berada dibelakang layar, saat ini mulai berbalik dan perempuan sebenarnya memiliki akal intelektual yang mampu menciptakan suatu hal yang juga bisa menggagas dunia, jiwa perempuan juga bisa melukis dan menari-nari, hati nurani yang bisa mencinta dan merindu, serta energy fisik yang memberi dan mengabdi tanpa lelah untuk kehidupan dan bekerja bagi tanah air. Terbukti dengan terbukanya dunia pendidikan terhadap perempuan serta public yang juga menempatkan perempuan di posisi tinggi, seperti gubernur, menteri, petinggi dsb yang membuktikan bahwa ia tak hanya menjadi pemuas hasrat belaka, atau “babu” (bahasa kasarnya)  yang hanya dirumah saja. 

            Dalam sejarah yang panjang, pandangan dan pikiran bahwa perempuan selalu  diperbincangkan oleh satu persoalan yakni tubuh, lambat laun akan menggerus dan hanya akan melukai dan menghancurkan berjuta tubuh perempuan. Sehingga akan mencabut ruh, jiwa, pikiran dan energi perempuan. Bangunan kokoh yang seharusnya tinggi menjulang diguncang oleh kebutaan perempuan sendiri akibat ribuan omong kosong yang hanya menjatuhkan intelektual yang cukup mendalam.

            Namun dewasa ini, dunia telah digemparkan oleh gempuran-gempuran dahsyat dari kehidupan modern, kebudayaan dan peradabannya. Sebuah sistem dimana demokrasi tidak lagi mengkambing hitamkan perempuan dan tubuhnya. Hal ini merupakan sistem kehidupan bersama yang terbuka bagi setiap individu sembari meniscayakan tanggung jawab  dan penghargaan terhadap martabat manusia. Sehingga diberikannya hak-hak terhadap kaum perempuan dalam kesetaraan gender. Melalui hal ini maka perlu dibedah kembali bahwasanya gender tidak harus lagi bicara soal tubuh manusia yang sejatinya telah tercipta sedemikian rupa anatominya oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Bahwa laki-laki dan perempuan adalah makhluk kreasi Tuhan.

            Lantas ketika berbicara tentang Gender, yakni tentang apa yang menggerakkan tubuh manusia. Hal-hal yang membuat manusia mengaktualisasikan dan mengespresikan tubuhnya. Segala hal yang menjadikan ia bisa memilih, menampakkan kegembiraan, suka dan duka hidupnya jika bukan karena Ruh. Dengan kata lain, gender akan selamanya berbicara tentang ruh, akal dan energi faktual yang ada dalam individu sehingga dapat dengan mudah mengespresikan dan mengaktulisasikan dirinya dalam dunia.[4] Bahwa sejatinya ruh-ruh perempuan sendirilah yang perlu dibangun dan dibangkitkan, karena ruh akan terlahir dari hati yang suci dan bersih

            Sebagai perempuan muda yang saat ini telah banyak dijamu oleh berbagai literatur, terlebih Islam merupakan agama yang terlahir sebagai rahmat alam semesta. Sudah sepantasnya kita mengidupkan kembali ruh-ruh yang mulai hilang ini. Tidak ingatkah bahwa banyak sejarah atau bacaan lampau yang menceritakan tokoh-tokoh penggerak dari kaum perempuan sendiri. Telah terekam dalam kaset sejarah Islam bahwa perempuan memilki kapabilitas dan integritas yang juga mampu dalam memimpin. Seperti Khadijah Isteri Sang Nabi, yang merupakan direktur dan pebisnis kain terbesar pada masanya, Aisyah-seorang istri Nabi-yang pernah memimpin dan menjadi panglima perang, Asma binti Abu Bakar menjadi pemimpin keluarga yakni mencari nafkah di publik. Disisi lain sebagai seorang istri yang senantiasa patuh terhadap sang suami, kita bisa menilik bahwa terdapat salah seorang tokoh muslim sejati yang tetap kokoh dengan perannya sebagai seorang isteri walau sang suami memiliki sifat yang bertolak belakang. Asiyah tetap menghormati sang suami walau tidak memimilki pemahaman yang sama, dan ia tetap tergerak hatinya dalam jiwa sosial demi menyelamatkan bayi musa.

            Maka sudah sepantasnya sekarang dan kedepan untuk mencoba tidak mendiskriminasi dan melarang perempuan untuk berdialog di depan publik, ataupun menjadi pemimpin Mengutip dari pendapat Musdah Mulia bahwa ia mengatakan “menghadapi dominasi nilai-nilai budaya Patriarki dan situasi diskriminatif agenda perempuan dalam politik hendaknya dimulai dari kegiatan-kegiatan penyadaran. Terutama merubah cara pandang dan pola pikir masyarakat tentang penting nya menjamin kesetaraan, pemenuhan hak asasi manusia, supremasi hukum dan keadilan.”

            Sebagai mana al qur’an dengan sangat indah sekaligus mencengankan memberikan ruang terhadap perempuan: “Ba’dhahum ‘ala Ba’dh” (sebagian mereka diatas bagian yang lain). Kitab suci ini tidak mengatakan:“seluruh laki-laki atas seluruh yang lain.” Maka dapat ditafsirkan bahwa sepanjang orang baik laki-laki ataupun perempuan yang hendak mengeksplorasi, mengembangkan, dan menjulang potensi dirinya dan ruang diluar dirinya maka tidak ada yang menghalang-halanginya, karena keunggulan kapasitas itu akan tampak terang benderang.

            Dengan demikian sudah pantas dan tepat untuk menggerakkan kembali ruh-ruh yang hilang tersebut. Sebagai perempuan tentu kita tidak boleh memiliki semangat yang kecil, nyali yang surut. Pertanyaanya jika demikian, layakkah seorang Ibu yang disebut-sebut sebagai madrastul ula bagi anak-anaknya tidak memiliki ilmu dan pemahaman yang luas? Pengalaman yang berharga? Lalu apa yang akan kita ceritakan pada anak-anak kita nantinya?

Salam pergerakan!

Tinggalkan Rebahan J

           

           

           

 



[1] Muhammad Husein, Haeruddin Mamang, Mencintai Tuhan Mencintai Kesetaraan, Jakarta : PT Gramedia 2014, hlm 88

[2] Anthony Synnott, Tubuh Sosial,Simbolisme,Diri dan Masyarakat, , Yogyakarta: Jalasutra cet II 2007, hlm 72

[3] Muhammad Husein, Haeruddin Mamang, Mencintai Tuhan Mencintai Kesetaraan, hlm 90

[4] Muhammad Husein, Haeruddin Mamang, Mencintai Tuhan Mencintai Kesetaraan, hlm 93

2 komentar: