Bukan Soal Tubuh, tetapi Ruh.
“Selama berabad-abad peradaban manusia telah
membuat gambaran tentang perempuan dengan cara pandang ambigu dan paradoks.
Perempuan dipuja sekaligus direndahkan. Ia dianggap sebagai tubuh yang indah
bagai bunga ketika ia mekar, tetapi kemudian
dicampakkan begitu saja begitu ia layu. Tubuh perempuan identik dengan
daya pesona dan kesenangan seksual. Tetapi dalam waktu yang sama ia dieksploitasi
demi hasrat diri dan keuntungan materi…” ( KH.Husein Muhammad)
Perempuan adalah manusia sama halnya
laki-laki. Islam mendefinisikan perempuan sebagai makhluk Allah yang memiliki
banyak keistimewaan. Sebagai seorang anak perempuan merupakan emas permata bagi
kedua-orang tuanya, sebagai seorang isteri ia adalah sebaik-baik dari perhiasan
dunia dan sebagai seorang ibu ia adalah surga bagi anaknya. Perempuan
sebagaimana makhluk Allah dicipatakan sama halnya seorang laki-laki yang
dilengkapi akal untuk berpikir, naluri yang memiliki rasa dan tubuh yang juga
bisa bergerak dalam ruang dan waktu.
Dalam Masyarakat Arab tubuh
perempuan harus dilindungi dan ditutup rapat-rapat, sehingga banyak ditemui
hanya terlihat dua buah bola mata. Tubuhnya terlarang menantang laki-laki
karena konon dalam diri perempuan menyimpan sesuatu yang amat berharga.
Sehingga tubuhnya begitu ketat dalam tata tertib kehidupan. Ruang geraknya
sempit, karena kemanapun seorang perempuan keluar, maka semua akan terkontrol dari
ujung rambut hingga ujung kaki. Dalam konteks tradisi keagamaan, seluruh
perbincangan tentang tubuh perempuan merujuk pada dua kata sakti, yakni Qiwamah AL-Rajul (kepemimpinan
laki-laki) dan al-fitnah.[1]
Qiwamah
AL-Rajul (kepemimpinan laki-laki) kata ini disebut dalam teks suci yang
paling otoritaif (paling abash) bahwasanya dengan adanya kata ini relasi gender
dibangun di segala ruang dan waktu. Kata kedua al-fitnah dalam konteks gender sering kali dimkanai sebagai kata
yang menyudutkan perempuan sebagai sumber fitnah, sumber godaan hasrat, pemicu
kerusakan/kekacauan sosial, dan semua hal yang menjerumuskan laki-laki ke
jurang nestapa.
Pandangan bahwa perempuan sumber
petaka dan kesialan bagi laki-laki sesungguhnya tidak hanya diperbincangkan
oleh kalangan masyarakat Islam. Dalam dunia Eropa penganut agama Kristen juga
memperbincangkan hal yang demikian, bahwa perempuan juga dianggap sebagai
makhluk yang hanya pemuas hasrat dan selalu dianggap memiliki tingkah moral
yang kurang. Sehingga laki-laki harus mengawasi setiap tingkah laku perempuan,
dan perempuan diciptakan untuk taat terhadap laki-laki. St. Agustinus (354-430)
bapak spiritualitas dunia Barat, memgingatkan jamaahnya bahwa “melalui seorang perempuan dosa pertama
datang, dosa yang membawa kematian bagi kita semua”. [2]
Pandangan-pandangan
paradoks kemudian meningkat, ambigu sekaligus penuh nuansa merendahkan,
menguasai dan memberikan penindasan bagi kaum perempuan. Bahwa apa yang dilihat
dari Bunga yang mekar ini hanya hasrat dari tubuh, seks dan bilogisnya saja.
Sehingga pandangan ini disebut sebagai pandangan patriarkisme.[3]
Patriarkisme yakni paham yang menempatkan bahwa laki-laki pemegang kekuasaan
utama dan mendominasi dalam peran politik, sosial, budaya dan ekonomi. Faktanya
keadaan tersebut hanya akan terus menjadi beban bagi pergerakan perempuan.
Namun kenyataanya, setelah kita rasakan secara perlahan asumsi-asumsi yang
mengatakan perempuan selalu berada dibelakang layar, saat ini mulai berbalik
dan perempuan sebenarnya memiliki akal intelektual yang mampu menciptakan suatu
hal yang juga bisa menggagas dunia, jiwa perempuan juga bisa melukis dan
menari-nari, hati nurani yang bisa mencinta dan merindu, serta energy fisik
yang memberi dan mengabdi tanpa lelah untuk kehidupan dan bekerja bagi tanah
air. Terbukti dengan terbukanya dunia pendidikan terhadap perempuan serta
public yang juga menempatkan perempuan di posisi tinggi, seperti gubernur,
menteri, petinggi dsb yang membuktikan bahwa ia tak hanya menjadi pemuas hasrat
belaka, atau “babu” (bahasa kasarnya) yang
hanya dirumah saja.
Dalam sejarah yang panjang,
pandangan dan pikiran bahwa perempuan selalu
diperbincangkan oleh satu persoalan yakni tubuh, lambat laun akan
menggerus dan hanya akan melukai dan menghancurkan berjuta tubuh perempuan.
Sehingga akan mencabut ruh, jiwa, pikiran dan energi perempuan. Bangunan kokoh
yang seharusnya tinggi menjulang diguncang oleh kebutaan perempuan sendiri
akibat ribuan omong kosong yang hanya menjatuhkan intelektual yang cukup
mendalam.
Namun dewasa ini, dunia telah digemparkan
oleh gempuran-gempuran dahsyat dari kehidupan modern, kebudayaan dan
peradabannya. Sebuah sistem dimana demokrasi tidak lagi mengkambing hitamkan
perempuan dan tubuhnya. Hal ini merupakan sistem kehidupan bersama yang terbuka
bagi setiap individu sembari meniscayakan tanggung jawab dan penghargaan terhadap martabat manusia.
Sehingga diberikannya hak-hak terhadap kaum perempuan dalam kesetaraan gender.
Melalui hal ini maka perlu dibedah kembali bahwasanya gender tidak harus lagi bicara
soal tubuh manusia yang sejatinya telah tercipta sedemikian rupa anatominya
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Bahwa laki-laki dan perempuan adalah makhluk kreasi
Tuhan.
Lantas ketika berbicara tentang
Gender, yakni tentang apa yang menggerakkan tubuh manusia. Hal-hal yang membuat
manusia mengaktualisasikan dan mengespresikan tubuhnya. Segala hal yang
menjadikan ia bisa memilih, menampakkan kegembiraan, suka dan duka hidupnya jika
bukan karena Ruh. Dengan kata lain, gender akan selamanya berbicara tentang ruh,
akal dan energi faktual yang ada dalam individu sehingga dapat dengan mudah
mengespresikan dan mengaktulisasikan dirinya dalam dunia.[4]
Bahwa sejatinya ruh-ruh perempuan sendirilah yang perlu dibangun dan
dibangkitkan, karena ruh akan terlahir dari hati yang suci dan bersih
Sebagai perempuan muda yang saat ini
telah banyak dijamu oleh berbagai literatur, terlebih Islam merupakan agama
yang terlahir sebagai rahmat alam semesta. Sudah sepantasnya kita mengidupkan
kembali ruh-ruh yang mulai hilang ini. Tidak ingatkah bahwa banyak sejarah atau
bacaan lampau yang menceritakan tokoh-tokoh penggerak dari kaum perempuan
sendiri. Telah terekam dalam kaset sejarah Islam bahwa perempuan memilki
kapabilitas dan integritas yang juga mampu dalam memimpin. Seperti Khadijah
Isteri Sang Nabi, yang merupakan direktur dan pebisnis kain terbesar pada
masanya, Aisyah-seorang istri Nabi-yang pernah memimpin dan menjadi panglima
perang, Asma binti Abu Bakar menjadi pemimpin keluarga yakni mencari nafkah di
publik. Disisi lain sebagai seorang istri yang senantiasa patuh terhadap sang
suami, kita bisa menilik bahwa terdapat salah seorang tokoh muslim sejati yang
tetap kokoh dengan perannya sebagai seorang isteri walau sang suami memiliki
sifat yang bertolak belakang. Asiyah tetap menghormati sang suami walau tidak
memimilki pemahaman yang sama, dan ia tetap tergerak hatinya dalam jiwa sosial
demi menyelamatkan bayi musa.
Maka sudah sepantasnya sekarang dan
kedepan untuk mencoba tidak mendiskriminasi dan melarang perempuan untuk
berdialog di depan publik, ataupun menjadi pemimpin Mengutip dari pendapat
Musdah Mulia bahwa ia mengatakan “menghadapi
dominasi nilai-nilai budaya Patriarki dan situasi diskriminatif agenda
perempuan dalam politik hendaknya dimulai dari kegiatan-kegiatan penyadaran.
Terutama merubah cara pandang dan pola pikir masyarakat tentang penting nya
menjamin kesetaraan, pemenuhan hak asasi manusia, supremasi hukum dan keadilan.”
Sebagai mana al qur’an dengan sangat
indah sekaligus mencengankan memberikan ruang terhadap perempuan: “Ba’dhahum ‘ala Ba’dh” (sebagian mereka
diatas bagian yang lain). Kitab suci ini tidak mengatakan:“seluruh laki-laki atas seluruh yang lain.” Maka dapat ditafsirkan
bahwa sepanjang orang baik laki-laki ataupun perempuan yang hendak
mengeksplorasi, mengembangkan, dan menjulang potensi dirinya dan ruang diluar
dirinya maka tidak ada yang menghalang-halanginya, karena keunggulan kapasitas
itu akan tampak terang benderang.
Dengan demikian sudah pantas dan
tepat untuk menggerakkan kembali ruh-ruh yang hilang tersebut. Sebagai
perempuan tentu kita tidak boleh memiliki semangat yang kecil, nyali yang surut.
Pertanyaanya jika demikian, layakkah seorang Ibu yang disebut-sebut sebagai madrastul ula bagi anak-anaknya tidak
memiliki ilmu dan pemahaman yang luas? Pengalaman yang berharga? Lalu apa yang
akan kita ceritakan pada anak-anak kita nantinya?
Salam pergerakan!
Tinggalkan Rebahan J
[1] Muhammad Husein, Haeruddin
Mamang, Mencintai Tuhan Mencintai
Kesetaraan, Jakarta : PT Gramedia 2014, hlm 88
[2] Anthony Synnott, Tubuh Sosial,Simbolisme,Diri dan Masyarakat,
, Yogyakarta: Jalasutra cet II 2007, hlm 72
[3] Muhammad Husein, Haeruddin
Mamang, Mencintai Tuhan Mencintai
Kesetaraan, hlm 90
[4] Muhammad Husein, Haeruddin
Mamang, Mencintai Tuhan Mencintai
Kesetaraan, hlm 93
Maa Syaa Allah, keren. Sukses selalu ya, Aamiin
BalasHapusTerimakasih iya..
BalasHapusaamiin, sukses selalu juga kamu.. :)